Rabu, 01 Desember 2010

HUKUM DAN CARA NIKAH KARNA ZINA ITU BAGAIMANA.??

1. Seorang wanita
yang berzina dengan
seorang lelaki,
keduanya berstatus
pezina selama belum
bertaubat dari
perzinaan itu. Maka
wanita itu tidak
boleh dinikahi oleh
siapapun sampai
terpenuhi dua syarat
berikut:
a. Wanita itu
bertaubat kepada
Allah Subhanahu wa
Ta ’ala, dan jika
yang hendak
menikahinya adalah
lelaki yang berzina
dengannya maka
juga dipersyaratkan
laki-laki tersebut
telah bertaubat. Hal
ini berdasarkan
firman Allah
Subhanahu wa
Ta ’ala dalam surat
An-Nur: 3:
يِناَّزلا َال
ُحِكْنَي َّالإ
ًةَيِناَز ْوَأ
ًةَكِرْشُم
ِناَّزلاَوُةَي
َال َهُحِكْنَيا
َّالِإ ٍناَز ْوَأ
ٌكِرْشُم
َمِّرُحَو َكِلَذ
ىَلَع نِمْؤُمْلا
َنيِ
“ Laki-laki pezina
tidaklah menikahi
selain wanita pezina
atau wanita musyrik,
dan wanita pezina
tidaklah menikahi
selain lelaki pezina
atau lelaki musyrik,
dan hal itu
diharamkan atas
kaum mukminin. ”
b. Wanita tersebut
melakukan istibra`
yaitu pembebasan
rahim dari bibit lelaki
yang telah berzina
dengannya. Karena
dikhawatirkan lelaki
tersebut telah
menanam bibitnya
dalam rahim wanita
itu. Artinya, wanita
itu hamil akibat
perzinaan itu. Maka
wanita itu harus
melakukan istibra`
untuk memastikan
bahwa rahimnya
kosong (tidak hamil),
yaitu menunggu
sampai dia
mengalami haid satu
kali karena dengan
demikian berarti dia
tidak hamil. Apabila
diketahui bahwa dia
hamil maka istibra`-
nya dengan cara
menunggu sampai
dia melahirkan
anaknya. Kita tidak
mempersyaratkan
wanita itu
melakukan ‘iddah1
karena sebagaimana
kata Asy-Syaikh Ibnu
‘ Utsaimin
rahimahullahu dalam
Asy-Syarhul
Mumti ’ (5/215, cet.
Darul Atsar):
“’ Iddah adalah
hak seorang suami
yang menceraikan
istrinya. Sedangkan
lelaki yang berzina
dengannya
statusnya bukan
suami melainkan
fajir/pezina. ”
Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah
rahimahullahu
berkata dalam
Majmu ’ Fatawa
(32/112): “Al-
Istibra` bukan karena
hak kehormatan
mani lelaki pertama
(yang menzinainya).
Akan tetapi untuk
hak kehormatan
mani lelaki yang
kedua (yang hendak
menikahinya),
karena tidak
dibenarkan baginya
untuk mengakui
seseorang sebagai
anaknya dan
dinasabkan
kepadanya padahal
bukan anaknya. ”
Demikian pula jika
ditinjau dari sisi
qiyas, Syaikhul Islam
berkata (32/111):
“ Seorang wanita
yang khulu’2 -
karena dia bukan
wanita yang dicerai-,
dia tidak ber- ’iddah
dengan ‘iddah
wanita yang dicerai.
Bahkan dia harus
melakukan istibra`
(membebaskan
rahimnya) dan
istibra` juga disebut
iddah. Maka, wanita
yang digauli dengan
nikah syubhat dan
wanita yang berzina
lebih utama untuk
melakukan istibra`. ”
Syaikhul Islam
(32/110) juga
berkata: “Karena
wanita yang berzina
bukanlah istri (yang
ditalak) yang wajib
untuk melakukan
‘ iddah. Dan tidaklah
keadaan wanita
berzina melebihi
keadaan budak
wanita yang harus
melakukan istibra`
sebelum digauli oleh
tuannya yang baru.
Padahal seandainya
dia telah dihamili
oleh bekas tuannya
maka anaknya
dinasabkan kepada
bekas tuannya itu.
Maka wanita yang
berzina (yang
seandainya hamil
maka anaknya tidak
dinasabkan kepada
laki-laki yang
menzinainya) lebih
wajib untuk
melakukan istibra`.”
Adapun dalil-dalil
tentang istibra` pada
budak wanita adalah:
a. Hadits Ruwaifi ’
bin Tsabit
radhiyallahu ‘anhu,
bahwa Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda
tentang sabaya (para
wanita tawanan
perang) pada perang
Khaibar:
َال ُّلِحَي
ٍئِرْماِل
ُنِمْؤُي
ِهللاِب
مْوَيْلاَو
ِ ِرِخآلْا ْنَأ
َيِقْسَي
ُهَءاَم َعْرَز
ِهِرْيَغ –
يِنْعَي
َناَيْتِإ
ىَلْبُحْلا َنِم
َياَبَّسلاا-
ْنَأَو َبيِصُي
ًةَأْرَمْا
اًبِّيَث َنِم
ِيْبَّسلا
ىَّتَح
ِرْبَتْسَياَهَئ
“ Tidak halal bagi
seorang lelaki yang
beriman kepada Allah
dan hari akhir untuk
menyiramkan air
maninya di ladang
orang –yakni
menggauli wanita
sabaya yang hamil–
dan menggauli
wanita sabaya yang
telah bersuami
sampai wanita itu
melakukan
istibra`. ” (HR. Abu
Dawud dan At-
Tirmidzi. Dishahihkan
oleh Ibnu Hibban dan
dihasankan oleh Al-
Bazzar serta Asy-
Syaikh Al-Albani
dalam Al-Irwa` 1/201,
5/141, no. 2137.
Hadits ini memiliki
syawahid/penguat-
penguat)
b. Hadits Abu Sa ’id
Al-Khudri
radhiyallahu ‘anhu
bahwa Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda
tentang para sabaya
Authas:
َال ُأَطْؤُت
ٌلِماَح ىَّتَح
َعَضَت َالَو
ُرْيَغ ِتاَذ
ٍلْمَح ىَّتَح
َضيِحَت
ًةَضْيَح
“ Yang hamil tidak
boleh digauli sampai
melahirkan, demikian
pula yang tidak hamil
sampai haid satu
kali. ” (HR. Abu
Dawud, dishahihkan
oleh Al-Hakim dan
Adz-Dzahabi. Namun
yang benar sanadnya
lemah karena Syarik
bin Abdillah Al-Qadhi
hafalannya jelek.
Akan tetapi hadits ini
memiliki syawahid/
penguat-penguat
sehingga dishahihkan
oleh Asy-Syaikh Al-
Albani dalam Al-Irwa`
no. 187 dan no. 1302)
2. Anak hasil zina
tidak dinasabkan
kepada lelaki yang
menzinai ibu anak
tersebut meskipun
kita mengetahui
bahwa secara hukum
kauni qadari anak
zina tersebut adalah
anaknya. Dalam arti,
Allah Subhanahu wa
Ta ’ala
menakdirkan
terciptanya anak
zina tersebut sebagai
hasil percampuran
air mani laki-laki itu
dengan wanita yang
dizinainya. Akan
tetapi secara hukum
syar ’i, anak itu
bukan anaknya
karena tercipta
dengan sebab yang
tidak dibenarkan
oleh syariat, yaitu
perzinaan.
Permasalahan ini
masuk dalam
keumuman sabda
Rasulullah Shallallahu
‘ alaihi wa sallam:
ُدَلَوْلا
شاَرِفْلِل
ِ هاَعْلِلَو ِرِ
ُرَجَحْلا
“ Anak yang lahir
untuk pemilik kasur
(artinya, anak yang
dilahirkan oleh istri
seseorang atau
budak wanitanya
adalah miliknya), dan
seorang pezina tidak
punya hak pada anak
hasil
perzinaannya. ” (Muttafaq
‘alaih dari Abu
Hurairah dan
‘ Aisyah
radhiyallahu ‘anha)
Dengan demikian,
jika seorang lelaki
menghamili seorang
wanita dengan
perzinaan kemudian
dia bermaksud
menikahinya dengan
alasan untuk
menutup aib dan
menyelamatkan
nasab anak tersebut,
maka hal itu haram
atasnya dan
pernikahannya tidak
sah. Karena anak
tersebut bukan
anaknya menurut
hukum syar ’i. Ini
adalah pendapat
jumhur (mayoritas)
ulama sebagaimana
dalam Al-Mughni
(6/184-185) dan
Syarah Bulughul
Maram karya Asy-
Syaikh Ibnu
‘ Utsaimin
rahimahullahu pada
Bab ‘Iddah wal
ihdad wal istibra`.
Dan ini yang
difatwakan oleh Al-
Lajnah Ad-Da`imah
dalam Fatawa
mereka
(20/387-389).
Berdasarkan hal ini,
seluruh hukum nasab
antara keduanya pun
tidak berlaku. Di
antaranya:
a. Keduanya tidak
saling mewarisi.
b. Lelaki tersebut
tidak wajib memberi
nafkah kepadanya.
c. Lelaki tersebut
bukan mahram bagi
anak itu (jika dia
wanita) kecuali
apabila lelaki
tersebut menikah
dengan ibu anak itu
dan telah melakukan
hubungan (sah)
suami-istri, yang
tentunya hal ini
setelah keduanya
bertaubat dan
setelah anak itu lahir,
maka anak ini
menjadi rabibah-nya
sehingga menjadi
mahram.
d. Lelaki tersebut
tidak bisa menjadi
wali anak itu dalam
pernikahan (jika dia
wanita).
18 menit yang lalu · Suka
Tanya Jawab
Masalah Islam
Namun bukan berarti
laki-laki tersebut
boleh menikahi putri
zinanya. Yang benar
dalam masalah ini,
dia tidak boleh
menikahinya,
sebagaimana
pendapat jumhur
yang dipilih oleh
Syaikhul Islam dan
Asy-Syaikh Ibnu
‘Utsaimin. Karena
anak itu adalah
putrinya secara
hukum kauni qadari
berasal dari air
maninya, sehingga
merupakan darah
dagingnya sendiri.
Dalil yang paling kuat
dalam hal ini adalah
bahwasanya seorang
laki-laki tidak boleh
menikahi anak
susuannya yang
disusui oleh istrinya
dengan air susu yang
diproduksi dengan
sebab digauli olehnya
sehingga hamil dan
melahirkan. Kalau
anak susuan
seseorang saja
haram atasnya,
tentu seorang anak
zina yang berasal
dari air maninya dan
merupakan darah
dagingnya sendiri
lebih pantas untuk
dinyatakan haram
atasnya. (Lihat
Majmu’ Fatawa,
32/134-137,
138-140, Asy-Syarhul
Mumti ’, 5/170)
Para ulama
menyatakan bahwa
seorang anak zina
dinasabkan kepada
ibu yang
melahirkannya, dan
keduanya saling
mewarisi. Jadi nasab
anak tersebut dari
jalur ayah tidak ada.
Yang ada hanyalah
nasab dari jalur
ibunya. Di antara dalil
yang menunjukkan
hal ini adalah
bahwasanya suami
istri yang melakukan
li ’an3 di hadapan
hakim karena
suaminya menuduh
bahwa anak yang
dikandung istrinya
adalah hasil
perzinaan sedangkan
istrinya tidak
mengaku lalu
keduanya dipisahkan
oleh hakim, maka
anak yang dikandung
wanita itu
dinasabkan kepada
ibunya dan terputus
nasabnya dari jalur
ayah. Sebagaimana
dalam hadits Sahl bin
Sa ’d As-Sa’idi
radhiyallahu ‘anhu
yang muttafaq
‘ alaih.
3. Jika kedua orang
yang berzina
tersebut menikah
dalam keadaan
wanitanya hamil
maka pernikahan itu
tidak sah
berdasarkan apa
yang telah dijelaskan
pada jawaban
pertama dan kedua.
Hanya saja, kalau
pernikahan itu
dilangsungkan
dengan anggapan
bahwa hal itu boleh
dan sah
sebagaimana
mazhab sebagian
ulama yang
berpendapat:
“ Boleh bagi seorang
lelaki yang
menghamili seorang
wanita dengan
perzinaan untuk
menyelamatkan
nasab anak itu
dengan cara
menikahinya dalam
keadaan hamil,
dengan syarat
keduanya telah
bertaubat dari
perzinaan dan
diketahui dengan
pasti/yakin bahwa
yang menghamilinya
adalah laki-laki itu ”,
maka pernikahan itu
dikategorikan
sebagai nikah
syubhat. Artinya,
pernikahan itu
berlangsung dengan
anggapan bahwa hal
itu boleh menurut
syariat, padahal
sebenarnya tidak
boleh. Berarti
pernikahan itu tidak
mengubah status
anak hasil perzinaan
tersebut sebagai
anak zina, dia tetap
dinasabkan kepada
ibunya dan tidak sah
dinasabkan kepada
lelaki tersebut.
Adapun anak-anak
yang dihasilkan
setelah nikah
syubhat, status
mereka sah sebagai
anak-anak
keduanya4. Akan
tetapi wajib atas
keduanya untuk
berpisah ketika
mengetahui hakikat
sebenarnya bahwa
pernikahan itu tidak
sah, sampai
keduanya menikah
kembali dengan akad
nikah yang benar dan
sah, tanpa harus
melakukan istibra`
ar-rahim. Ini adalah
jawaban Syaikhuna
Al-Faqih
Abdurrahman
Al- ‘Adni
hafizhahullah wa
syafahu.
Dengan demikian,
diketahuilah bahwa
hubungan antara
anak zina tersebut
dengan anak-anak
yang lahir dengan
nikah syubhat
tersebut adalah
saudara seibu tidak
seayah, yang berarti
mereka adalah
mahramnya. Namun
tidak bisa menjadi
wali pernikahannya
menurut pendapat
jumhur, yang
menyatakan bahwa
wali pernikahan
seorang wanita
adalah setiap lelaki
yang merupakan
‘ ashabah5 wanita
itu, seperti ayahnya,
kakeknya dari jalur
ayah, putranya, anak
laki-laki putranya,
saudara laki-lakinya
yang sekandung atau
seayah, pamannya
dari jalur ayah dan
‘ ashabah lainnya6.
4. Yang menjadi
walinya adalah
sulthan. Asy-Syaikh
Ibnu ‘Utsaimin
rahimahullahu
berkata dalam Asy-
Syarhul
Mumti ’ (5/154):
“Yang dimaksud
dengan sulthan
adalah imam (amir)
atau
perwakilannya ….
Adapun sekarang,
urusan perwalian ini
dilimpahkan oleh
pemerintah kepada
petugas khusus. ”
Di negeri kita,
mereka adalah para
petugas (penghulu)
Kantor Urusan Agama
(KUA). Hal ini
berdasarkan hadits
‘Aisyah
radhiyallahu ‘anha,
Rasulullah Shallallahu
‘ alaihi wa sallam
bersabda:
اَمُّيَأ ٍةَأَرْما
ْتَحَكَن
ِرْيَغِب ِنْذِإ
اَهِّيِلَو
هُحاَكِنَفاَ
ٌلِطاَب …
ِنِإَف
وُرَجَتْشاا
طْلُّسلاَفُناَ
ُّيِلَو ْنَم َال
َّيِلَو ُهَل
“ Siapa saja wanita
yang menikah tanpa
izin dari walinya
maka pernikahannya
batil …, dan jika para
wali berselisih untuk
menikahkannya
maka sulthan adalah
wali bagi seorang
wanita yang tidak
punya wali. ” (HR.
Abu Dawud, At-
Tirmidzi, dan Ibnu
Majah, dishahihkan
oleh Abu ‘Awanah,
Ibnu Hibban, Al-
Hakim, Al-Albani
dalam Al-Irwa` (no.
1840) dan guru besar
kami Al-Wadi ’i
dalam Ash-Shahihul
Musnad (2/493))
Ash-Shan ’ani
rahimahullahu
berkata dalam
Subulus Salam
(3/187): “Hadits ini
menunjukkan bahwa
sulthan adalah wali
bagi seorang wanita
yang tidak punya
wali dalam
pernikahan, baik
karena memang
tidak ada walinya
atau walinya ada
namun tidak mau
menikahkannya7.”
Jika ada yang
bertanya: Bukankah
ibu seorang anak
zina dan ‘ashabah
ibunya merupakan
‘ ashabah bagi anak
zina itu sebagaimana
pendapat sebagian
ulama? Tidakkah
mereka dianggap
sebagai wali?
Jawabannya: Ibnu
Qudamah
rahimahullahu dalam
Al-Mughni (6/183)
menerangkan bahwa
kedudukan mereka
sebagai ‘ashabah
anak zina itu hanya
dalam hal waris
semata dan tidak
berlaku dalam
perkara perwalian
nikah. Karena
hubungan nasab
mereka hanya
melalui jalur ibu,
sehingga tidak ada
hak perwalian untuk
mereka.wallohu'lam

1 komentar: