Minggu, 26 Desember 2010

SAHKAH NIKAHNYA ORANG ZINA.??

assalamu'alaikum
wr.wb ustad saya mo
tanya sah kah nikahnya
orang berzinah kemudian
hamil ,lantas mereka
taubat kemudian untuk
menutupi malu kemudian
mereka nikah diusia
kehamilan 2 bulan.mohon
jawaban berdasarkan
keterangan al qur'an dan
al hadist shahih.terima
kasih
25 September jam 15:10 · Suka
Abimanyu Diatasawan
menyukai ini.
Tanya Jawab Masalah
Islam waalaikum
salam,wr,wb.
Semua harus kita
petakan terlebih dahulu,
karena tiap-tiap kasus
akan berbeda-beda
hukumnya.
1. Kasus Pertama
Seorang wanita sudah
menikah dan sedang
dalam keadaan hamil,
lalu berhubungan seksual
dengan suaminya, maka
hukumnya halal. Sebab
hubungan suami isteri
tidak terlarang, bahkan
pada saat hamil sekali
pun. Lagi pula, dia
melakukannya dengan
suaminya sendiri. Maka
hukumnya halal.
2. Kasus Kedua
Seorang wanita sudah
menikah dan sedang
dalam keadaan hamil.
Suaminya meninggal atau
menceraikannya. Maka
wanita ini diharamkan
menikah, apalagi
melakukan hubungan
seksual dengan laki-laki
lain.
Sebab wanita itu masih
harus menjalankan masa
iddah, yaitu masa di
mana dia harus berada
dalam posisi tidak boleh
menikah, bahkan
termasuk ke luar rumah
dan sebagainya. Dan
masa iddah wanita yang
hamil adalah hingga dia
melahirkan anaknya.
3. Kasus Ketiga
Seorang wanita hamil di
luar nikah yang syar ’i
(berzina), lalu untuk
menutupi rasa malu,
keluarganya
menikahkannya dengan
orang lain. Yaitu laki-laki
lain yang tidak
menzinainya.
Dalam hal ini, para ulama
mengharamkan
terjadinya hubungan
seksual antara mereka.
Adapun apakah boleh
terjadi pernikahan saja,
tanpa hubungan seksual,
ada dua pendapat yang
berkembang.
Pendapat pertama,
hukumnya haram. Dan
kalau dinikahkan juga,
maka pernikahan itu
tidak sah alias batil. Di
antara para ulama yang
mengatakan hal ini
adalah Al-Imam Malik,
Imam Ahmad bin Hanbal
dan jumhur ulama.
Karena yang namanya
suami isteri tidak
mungkin diharamkan
dalam melakukan
hubungan seksual. Jadi
menikah saja pun
diharamkan, kecuali
setelah anak dalam
kandungan itu lahir.
Pendapat kedua,
hukumnya halal dan
pernikahan itu sah.
Asalkan selama anak itu
belum lahir, suami itu
tetap tidak melakukan
hubungan seksual
dengannnya. Suami harus
menunggu hingga
lahirnya bayi dalam
perut. Baik dalam
keadaan hidup atau
mati.Pendapat ini
dikemukakan oleh Al-
Imam Asy-Syafi ’i dan
Imam Abu Hanifah.
Perbedaan pendapat para
ulama ini berangkat dari
satu dalil yang dipahami
berbeda. Dalil itu adalah
dalil tentang haramnya
seorang laki-laki
menyirami ladang laki-
laki lain.
Dari Rufai ’ bin Tsabit
bahwa Nabi SAW
bersabda, “Siapa yang
beriman kepada Allah
dan hari akhir, maka
janganlah menyiramkan
airnya pada tempat yang
sudah disirami orang
lain. ” (HR Tirmizi dan
beliau menghasankannya)
Jumhur ulama yang
mengharamkan
pernikahan antara
mereka mengatakan
bahwa haramnya
‘menyirami air orang lain’
adalah haram melakukan
akad nikah. Sedangkan
As-Syafi ’i dan Abu
Hanifah mengatakan
bahwa yang haram
adalah melakukan
persetubuhannya saja,
ada pun melakukan akad
nikah tanpa
persetubuhan tidak
dilarang, karena tidak
ada nash yang melarang.
4. Kasus Keempat
Seorang wanita belum
menikah, lalu berzina
hingga hamil. Kemudian
untuk menutupi rasa
malunya, dia menikah
dengan laki-laki yang
menzinainya itu.
Dalam hal ini para ulama
sepakat
membolehkannya. Karena
memang tidak ada
larangan atau
pelanggaran yang
dikhawatirkan.
Setidaknya, Al-Imam Asy-
syafi ’i dan Abu Hanifah
rahimahumallah
membolehkannya.
Bahkan mereka
dibolehkan melakukan
hubungan seksual selama
masa kehamilan, asalkan
sudah terjadi pernikahan
yang syar ’i antara
mereka.
Karena illat (titik point)
larangan hal itu adalah
tercampurnya mani atau
janin dari seseorang
dengan mani orang lain
dalam satu rahim yang
sama. Ketika
kemungkinan itu tidak
ada, karena yang
menikahi adalah laki-laki
yang sama, meski dalam
bentuk zina, maka
larangan itu pun menjadi
tidak berlaku.
Seringkali ada orang yang
tetap mengharamkan
bentuk keempat ini,
mungkin karena agak
rancu dalam memahami
keadaan serta titik
pangkal keharamannya.
Pendeknya, kalau wanita
hamil menikah dengan
laki-laki yang
menzinainya, maka tidak
ada dalil atau illat yang
melarangnya. Sehingga
hukumnya boleh dan
sesungguhnya tidak perlu
lagi untuk menikah ulang
setelah melahirkan.
Karena pernikahan
antara mereka sudah sah
di sisi Allah SWT. Bahkan
selama masa kehamilan
itu, mereka tetap
diperbolehkan untuk
melakukan hubungan
suami isteri. Jadi
mengapa harus diulang?
Perbedaan Antara Wanita
Pezina dengan Wanita
Yang Pernah Berzina
Satu hal lagi yang perlu
dijelaskan duduk
perkaranya adalah
perbedaan hukum antara
dua istilah. Istilah yang
pertama adalah ‘wanita
pezina’, sedangkan yang
kedua adalah ‘wanita
yang pernah berzina’.
Antara keduanya sangat
besar bedanya. Wanita
pezina itu adalah wanita
yang pernah melakukan
zina, belum bertaubat,
bahkan masih suka
melakukannya, baik
sesekali atau seringkali.
Bahkan mungkin punya
pandangan bahwa zina
itu halal.
Wanita yang bertipologi
seperti ini memang
haram dinikahi, sampai
dia bertaubat dan
menghentikan
perbuatannya secara
total. Dan secara tegas,
Allah SWT telah
mengahramkan laki-laki
muslim untuk menikahi
wanita pezina. Dan
wanita seperti inilah yang
dimaksud di dalam surat
An-Nur berikut ini.
Laki-laki yang berzina
tidak mengawini
melainkan perempuan
yang berzina, atau
perempuan yang musyrik;
dan perempuan yang
berzina tidak dikawini
melainkan oleh laki-laki
yang berzina atau laki-
laki musyrik, dan yang
demikian itu diharamkan
atas oran-orang yang
mu ’min. (QS. An-Nur: 3)
Adapun wanita yang
pernah berzina, lalu dia
menyesali dosa-dosanya,
kemudian bertaubat
dengan taubat nashuha,
serta bersumpah untuk
tidak akan pernah
terjatuh di lubang yang
sama untuk kedua
kalinya, maka wanita
seperti ini tidak bisa
disamakan dengan
wanita pezina.
Ayat di atas tidak bisa
dijadikan dalil untuk
mengharamkan
pernikahan bagi dirinya,
hanya lantaran dia
pernah jatuh kepada dosa
zina.
25 September jam 19:50 · Suka · 1
· Hapus
Tanya Jawab Masalah
Islam Al-Imam An-Nawawi
(Al-Majmu':17/384)
berpendapat, bila
seorang laki-laki berzina
dengan seorang wanita,
tidak diharamkan
baginya untuk
menikahinya. Hal ini
sebagaimana firman Allah
Swt, "Dan dihalalkan bagi
kamu selain yang
demikian (yaitu) mencari
isteri-isteri dengan
hartamu untuk dikawini
bukan untuk
berzina." (QS. An-Nisa:24)
Demikian dengan hadits
A'isyah, bahwasanya
Rasulullah Saw ditanya
tentang seorang laki-laki
yang telah berzina
dengan seorang
perempuan, lalu ingin
menikahinya, maka
Rasulullah Saw bersabda,
"Yang haram itu tidak
bisa mengharamkan yang
halal dan bahwasanya ia
tetap haram selama tidak
menikahinya." (HR. Ibnu
Majah, Baihaqi dari Ibnu
Umae dan dalam
isnadnya Abdullah bin
Umar, Dia dha'if)
Dalam hal ini bermacam-
macam ungkapan para
ulama. MEnurut Ibnu
Abbas ra, "Pertamanya
haram dan akhirnya
halal." Ibnu Mas'ud ra
berkata, "Keduanya
adalah pezina, kalau
bertobat maka boleh
keduanya untuk
menikah." Abu Bakar ra
berpendapat, "Tidak
diharamkan baginya
menikahi wanita
tersebut." Bahkan ia
mengatakan, "Tidak ada
taubat yang lebih utama
dari zina kecuali ia
menikahinya." Demikian
menurut Jabir bin
Abdullah, Qatadah, Ibnu
Musayyib, Sa'ad bin
Jubair, "Tidak mengapa
menikahinya dengan
syarat dia bertaubat dan
islah. Bila tidak, maka
hukumnya makruh."
Mereka beralasan
dengan firman Allah Swt
surat An-Nisa ayat 24.
Karenanya, Ibnu Taimiyah
(Majmu' Fatawa:32/109)
berkata, "Haram
menikahi wanita pezina
sehingga ia bertaubat.
Baik wanita tadi berzina
dengan laki-laki yang
akan menikahinyaatau
dengan laki-laki lain."
Dan seperti inilah
pendapat para ulama
shalaf dan khalaf.
Imam Malik dan Ahmad
mensyaratkan adanya
istibra' (masa menunggu
untuk mengetahui dia
hamil atau tidak), dan
Abu Ya'la mensyaratkan
setelah tiga bulan (masa
iddah). Tapi menurut Ibnu
Taimiyah, yang lebih
benar tidak diwajibkan
kecuali istibra' saja, tidak
usah menunggu masa
iddah.
Adapun bila laki-laki
muslim yang menjaga
kehormatannya ingin
menikahi seorang wanita
pezina, atau seorang
wanita muslim yang
menjaga kehormatannya
ingin menikahi seorang
laki-laki pezina, maka
hukumnya makruh.
Karena hadits Nabi Saw
memerintahkan agar
menikahi mereka yang
memiliki dien yang baik,
dan juga dengan alasan
firman Allah Swt, "Laki-
laki yang berzina tidak
mengawini melainkan
perempuan yang berzina
atau perempuan musyrik
dan perempuan pezina
tidak dikawini melainkan
laki-laki yang berzina
atau laki-laki musyrik dan
yang demikian itu
diharamkan atas orang-
orang beriman." (QS. An-
Nuur:3)
Jadi secara umum para
ulama membolehkan
seorang laki-laki
menikahi wanita yang
pernah berzina
dengannya, dengan
syarat setelah bertaubat
dan istibra', dan tidak
usah menunggu masa
iddah. Khalifah Umar ra
juga pernah menghukum
laki-laki yang menzinahi
perempuan dan hamil,
lalu beliau menikahkan
keduanya.
walluhu'alam

1 komentar:

  1. Assalamu'alaikum,

    Mohon maaf sebelumnya, kajian ini meringankan pemikiran kami selama ini untuk permasalahan perlu/tidaknya nikah ulang, namun mohon informasinya untuk dapat saya mengetahui profil penulis blogger ini, supaya saya tidak salah persepsi akan kebenaran kajian tersebut, mohon maaf sebelumnya

    terima kasih
    farids
    vander.atilla@gmail.com

    BalasHapus